Sabtu, 25 Oktober 2014

18 jam bersepeda dari Medan ke Langsa

      Ini kejadian sekitar awal tahun 2006, yang masih bersemangat muda, semangat berpetualangan. Di saat itu aku sedang cuti dan berlibur di kota Medan. Iseng saja, ketika ingin pulang aku putuskan dengan cara yang berbeda. Sepeda adalah cara yang unik dimana ketika itu belum ada demam "bycycle to work" maka jadinya murni ide sendiri.
      Pas juga ketika itu aku punya uang lebih, jadi aku putuskan saja untuk membeli sepeda gunung bermerk Wim Cycle, berbahan besi dan alumunium di bagian rodanya, cukup ringan yang harganya 700 ribu lebih. Hari pertama beli, aku mengayuh sepeda untuk jaraj dekatnya seputaran kota Medan. Niatku supaya hatiku seharmoni mungkin cocok dengan sepeda ini. Ternyata sepedaku mudah dan cukup seimbang ketika lepas tangan. Bahkan aku bisa memutarkan sepeda ku 180 derajat di putaran yang cukup lebar dengan lepas tangan. Tentu saja asalkan tidak ada kendaraan yang mengganggu.
           Tiba saatnya hari ketiga dengan sepeda baru. Pada harinya aku konsultasikan kepada kawan kawanku tentang niatku bersepeda langsung ke Lhokseumawe. Tapi seorang teman menyarankan agar sampai di Langsa dulu, lihat kemampuan diri dan nimbang nimbang tenaga jika mau lanjut ke Lhokseumawe. Benar juga, akal sehat tidak boleh dikalahkan oleh semangat muda. Atas saran temanku, aku berangkat dini hari.
            Tepat nya jam 02.30 dini hari waktu Medan, aku berangkat dari sebuah mesjid di kawasan Polonia. Sebelumnya aku tidur di tempat kos temanku didekat mesjid dan sudah salat malam berharap keselamatan di jalan. Aku bersepeda dengan tas rangsel besar berisi penuh, berat sekitar 10 kg. Penampilanku benar benar seperti orang yang ingin jalan jauh. Cukup meyakinkan.
            Aku berjalan cukup santai, awalnya melewati jalan Iskandar Muda di Medan, dan masih terlihat para WTS yang mencari mangsa. Hehe.. masih saja bekerja, mereka tak mau kalah dengan bencong yang katanya pulang pagi. Dan aku terus berjalan dengan lalu lintas yang cukup bersahabat.
            Terdengar suara azan Shubuh, ketika itu kalau tidak salah hampir sampai kota Binjai. Aku berhenti di sebuah mushalla untuk shalat Shubuh. Badanku masih sangat segar. Hanya saja tas rangsel berat cukup membebaniku. Ku kayuh kan lagi sepedaku.
            Ketika sudah melewati Binjai, aku berhenti lagi utk makan pagi di sebuah warung tenda. Makanannya kurang memuaskan bagiku tetapi aku cukup kenyang dan harus berhenti sejenak supaya perut lebih tenang. "Dari mana mau kemana nih Dik? Kok sepeda pakai tas berat segala!" sapa ibu pemilik warung ramah. "Dari Medan mau ke Langsa", sahutku. "Serius nih!" dengan wajah yang terheran. Aku selesaikan pembayarannya secara adat dan kukayuhkan lagi sepedaku.
         Tibanya waktu Zhuhur, aku hendak shalat, aku berhenti di daerah yang tidak banyak penduduknya, tenpat dimana bibit kelapa sawit mulai bersemi, masih wilayah Sumatra Utara. Sebelumnya aku pernah berhenti, tapi lupa dimana, makanya tak aku ceritakan. Aku wudhuk dan memasuki mushalla kecil yang tampaknya belum selesai. Aku shalat Zhuhur dan Ashar yang dijamakkan.
           Aku benar benar lelah. Keringat keluar semua di seluruh badan. Seperti orang baru mandi, hanya saja ini keringat, rasanya asin :p. Tapi aku belum merasa lapar. Aku butuh air. Di saat seperti ini bagusnya minum air manis gula aren. Itu yang paling cepat mengembalikan tenaga. Aku sempat tertidur setengah jam. Lumayan terasa segar. Kukayuhkan lagi sepedaku.
             Jalanan semakin sepi, mu hkin karena terik matahari. Tapi aku merasa aneh dgn rumah rumah gubuk di samping jalan. Rumah kayu yang sepi dengan cewek yang tampak seksi berdaster. Pada saat itu aku belum siapa mereka sebenarnya. Mereka juga melihat ke arah ku dengan pandangan heran. "Siapa nih abang gagah bersepeda" mungkin batin mereka seperti itu heheehe.
            Akhirnya aku mampir di sebuah warung minuman tak jauh dari daerah tersebut, dan rupanya masih kawasan seperti rumah gubuk tsbt. Aku pesan teh botol. Aku kira ada makanan. Rupanya tidak ada. "Kok malas kali orang jualnya, menunya sedikit" batinku. Di sudut tenda, ada seorang wanita dengan dandanan menor tampil seksi. Saat itu aku teringat ketika naik bus dari Banda Aceh ke Medan dimana menjelang Shubuh kalau melewati daerah rumah gubuk itu ada cewek- cewek berpakaian seksi dengan para lelaki dewasa dan banyaknya mobil truk di samping jalan. Aku yakin jika wanita di sudut warung tu adalah WTS dimana belakangan aku makin yakin berdasarkan cerita temanku. Pantas saja., menu yang ditawarkan sedikit karena mereka menawarkan menu khas yg semua pasti suka, hehehee. Perutku makin lapar, dan kukayuhkan lagi sepedaku meninggalkan tempat tersebut.
          Dari kejauhan aku melihat tugu selamat datang di propinsi Aceh dan senyumku semakin melebar istilahnya dalam bahasa Aceh "adee igoe" artinya jemur gigi, huahhhaha. Ada warung di samping kiri jalan, jelas ada makan nasinya, aku berhenti makan siang. Aku makan sekedar saja takut kekenyangan dan ngantuk. Aku bercakap dan akhirnya orang-orang di warung dan akhirnya mereka tahu tujuan aku bersepeda.
         Ketika aku bersepeda dan telah melewati garis batas propinsi aku berhenti sejenak melambaikan tanganku ke arah Sumut. Beberapa orang menyambut lambaian tanganku, seakan melepaskan seorang atlik sepeda kayuh ke Aceh. Aku tambah semangat.
           Ketika aku hampir sampai di kota Kuala Simpang, Aceh, aku mendaki, gear sepeda aku ringankan. Orang yg rumahnya pinggir jalan tersebut meneriakkan semangat. Akhirnya ketika hampir puncak, terpaksa aku dorong sepedaku, tak sanggup lagi. Namun di situ juga ada hikmahnya. Rupanya rem sepedaku sudah kendor. Tak sanggup mencekram dan ikatannya di pegangan tangan pun sudah mulai kendor. Untung, hari sebelumnya aku sudah beli kunci dgn berbagai seri harganya 7 ribu rupiah di  swalayan di polonia Medan.  Aku berhenti memperbaiki sepeda baruku. Dan kukayuh lagi sepedaku.
           Tiba juga akhirnya aku di kota Kuala Simpang sekitar jam 6 sore. Aku masuk warkop pesan minuman. Mataku sangat lelah. Jika ada kacamata rayban mungkin sangat membantu mataku.
           "Mau kemana ni Nak?" tanya ibu warung. "Ini Bu mau ke Langsa, tadi pagi dari Medan, naik sepeda". "Oh yaa, ponaan saya bulan lalu dari sini ke Bireuen, rencananya mau keliling Aceh pake sepeda balap". Aku tertunduk malu buang muka pura pura mencari sesuatu yang jatuh di lantai. Ternyata banyak juga yang bukan atlik yg jauh lebih hebat. Kukayuhkan lagi sepedaku.
             Senja hari semakin lembayung. Aku sadar kalau pejalanan ini terlalu lambat dan santai. Aku mulai resah. Dan untuk shalat Maghrib aku akhirkan saja jamaknya ke Isya. Aku terus mengayuh. Aku tak berhenti lagi di warkop kecuali beli bekal minuman isotonik. Malam tampak jelas hitamnya dan udara pun semakin dingin dan keringat ku mulai dingin.
            Akhirnya aku sampai, dari kejauhan aku lihat gapura selamat datang kota Langsa. Kuambil hp aku hubungi temanku di Paya Bujok, kota Langsa. Ternyata dia sedang tidak ada di tempat. Ku putuskan saja untuk masuk sebuah warnet. Aku lihat sebuah jam dinding menunjuk jam 9.30 malam. Benar benar lelah tetapi cukup lega.
           Setelah dari warnet aku langsung je tempat temanku. Aku disambut hangat. Ternyata aku menhabiskan 18 jam berolahraga. Dari jam 02.30 pagi s.d 09.30 malam, dari sebelum terbit matahari sampai setelah terbenamnya matahari. Dahsyat.
           Keesokan harinya, aku terbangun dengan kaki yang sudah kembung. Maklum, tidak pernah berolah raga berat, jadinya begini. Untuk melangkahkan kaki saja cukup berat. Jalan lambat lambai bagaikan siput. Dan untuk sampai ke Banda Aceh, aku dan sepedaku naik L-300. Itulah akhir perjalanan sepedaku. Ingin rasanya aku ulangi.
          Ketika keluarga dan teman temanku tahu, banyak yg heran dan juga menganggap ini sebuah hal yang gila. Tapi, aku rasa aku tidak menyusahkan orang. Begitulah cerita 8 tahun lalu.
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar