Minggu, 25 September 2016

Aktivitas pagi hari pelabuhan ikan Lampulo




                Shubuh memang waktu yang damai. Waktu dimana udara sedang sangat segar segarnya, mentari menyibakkan sinarnya, hamba mencari simpati Tuhannya dan kelimpahan rezeki menanti pencarinya. Berjamaah Shubuh di Mesjid Oman Lampriet, Mesjid Agung Kota Banda Aceh sangat mengisi relung jiwa yang penuh dosa. Irama bacaan dari imam dengan padanan panjangnya shalat menambah bekas keimanan. Apalagi membawa si anak nomor satu dan dua yang sering dianggap kembar.
                Setelah sedikit berzikir di mesjid, kami memantapkan langkah menuju ke Pelabuhan Ikan Lampulo, pelabuhan yang dijadikan sentral pelabuhan ikan Aceh yang terus berbenah untuk menjadi pelabuhan utama di Sumatera. Melewati jalan Pocut Baren, para-para pencari nafkah, pemungut sampah sudah mengerumuni kantor ketenagakerjaan demi jatah upah harian. Bayangkan saja jika mereka mogok kerja 3 hari, niscaya tumpukan sampah di depan rumah penduduk selalu menghiasi jalanan dan menebarkan aroma parfum pel lantai yang busuk. Ternyata walaupun pekerjaan mereka jorok, tetapi mereka mengangkat kotoran, menyenangkan hati masyarakat yang tetap saja dianggap rendah dan direndahkan. Sepeda motor kami tetap lanjut ke pelabuhan.

menuju hall utama Pelabuhan Ikan Lampulo
Menuju Hall Utama Pelabuhan Ikan Lampulo
















        
                Di pintu gerbang masuk pelabuhan, para penanti jatah parkir masuk pelabuhan siap siaga sebelum Shubuh apalagi setelah Shubuh. Penanti jatah parkir menjadi dua pintu masuk utama dari Lampulo atau pun dari Lambaro Skep. Hari ini sampai di pelabuhan lebih cepat, lalu lintas pintu masuk pelabuhan tidak ramai. Subuh-subuh biasanya banyak berdatangan kendaraan becak, atau sepeda motor penjual ikan dengan kantong ikan di kanan-kiri.
                Langsung menuju TKP. Di tepi pelabuhan, para ABK sudah menepikan kapal-kapalnya di tengah malam atau Shubuh hari. Hanya saja ikan-ikan di dalam kapal mulai diangkat menjelang Shubuh. Hal ini karena lebih menjaga kesegaran ikan yang terpeti-es-kan di dalam lambung kapal. Para awak pelabuhan mengambil tempat ikan dari rotan (“raga”) yang memang ada disewakan atau punya sendiri. Petugas ABK dan awak pelabuhan saling bekerja sama mendaratkan ikan dan memindahkannya ke tempat pesanan.
                Dimana ada gula di situ ada semut. Shubuh hari dimana kerumunan manusia mengadu nasib mencari nafkah, tak ketinggalan juga para pnjual nasi bungkus, gorengan, kue-kue basah dan asongan lainnya mencari lapak, berpindah-pindah dan melayani pelanggan. Pelanggang yang melepas lelah berhari-hari di laut lepas. Umumnya mereka para laki-laki, hanya sebagian kecil wanita tangguh pencari rezeki berjuang untuk keluarganya.
                Namun, yang menjadi pekerjaan man of the match-nya di pelabuhan ikan adalah mereka para “toke bangku”. Disebut demikian karena mereka duduk di bangku saat bekerja sebagai tangan pertama yang menjual ikan. Mereka memang laki-laki flamboyan yang mudah dikenali, beberapa memakai topi bulat khas para boss. Mereka tentunya punya kapal atau sebagai pimpinan dalam sebuah kelompok nelayan. Mereka menjual ikan dalam satuan keranjang raga yang hampir semua pembelinya adalah para mugee eungkot (bahasa kerennya; agen reseller ikan), atau kadang-kadang untuk jenis ikan tertentu memang sudah ada yang pesan sebelumnya. Mugee engkout mudah ditandai karena mereka menggunakan sepatu boot.
                Disinilah tempat yang sangat nyata dimana hukum permintaan dan penawaran sangat berlaku. Jika ikan banyak maka harga akan dibanting, jika ikan sedikit maka harga pun meroket tajam. Sabtu dan Minggu biasanya ikan lebih mahal. Para mugee engkout awalnya berkeliaran berlalu lalang melihat-lihat ikan yang sudah ditumpuk di keranjang raga. Ikan tidak akan dijual sebelum sang toke bangku duduk dan mengumumkan ada ikan yang diperjualbelikan. Transaksi pun terjadi.

toke bangku dan penjualan ikan di pelabuhan Lampulo
Toke Bangku dan transaksi ikan di pelabuhan Lampulo

















                Sang toke bangku sangat jarang terlebih dahulu memberitahukan harga barang. Hal semacam ini pun lazim ditemukan di pasar tradisional seperti pasar Aceh dan Peunayong. Mereka awalnya memberitahukan barang dan kondisinya dan menunggu para mugee menanyakan harga ikan. Ketika ditanya berapa harga satu keranjang, sang mugee menjawab 900 ribu, lalu salah seorang mugee menawar 350ribu. Sangat dahsyat harga yang diminta kurang, dan rupanya ini memang fenomena di pelabuhan. Toke bangku pun menjawab dengan sindiran “itu harga matahari tepat di atas kepala”. Yang pasti harga pun turun sebanding dengan naiknya matahari. Jika sudah deal, maka ikan dalam keranjang raga akan diantar ke tempatnya si mugee oleh awak pelabuhan. Sebenarnya di dalam gedung hall utama (gedung dengan atapnya setengah lingkaran) pelabuhan ada bebarapa yan mirip perannya seperti toke bangku yang kadar flamboyannya di bawah toke bangku. Mereka juga penjual pertama di pelabuhan tersebut, tetapi ikan yang diambil bukan dari kapal yang menepi, tetapi dari kiriman kabupaten lain melalui mobil boks. Pelanggan mereka umumnya pemilik rumah makan atau pelaku catering, sedikit para mugee dan pembeli eceran.
                Ketika transaksi ikan di gelaran toke bangku, kami para pemerhati penggembira mengambil jarak yang agak jauh sedikit supaya tidak menggangu proses transaksi. Jelas-jelas ada papan peringatan bahwa di tempat penurunan ikan (dekat toke bangku) dan sekitarnya tidak boleh melakukan penjualan eceran. Namun, yang namanya manusia mencari rezeki, selalu saja ada celah. Di ujung timur pelabuhan, ada sedikit penjual dengan sedikit gelaran ikan untuk dijual. Ikan yang diambil umumnya dari perahu sampan kecil. Harganya tidak jauh beda dari yang berlaku di pasar. Plus, membeli ikan di pagi hari tidak ada pelayanan pesiang ikan, ketika hari menjelang siang, maka para penjual di ujung barat pelabuhan ada pelayanan pesiang ikan. Akan tetapi, harga ikan yang dijual diujung barat tidak termasuk jasa pesiang ikan. Biasanya jasa pesiang ikan 5 ribu untuk tiap satu ikan besar.
                Harga ikan sebenarnya ditentukan oleh para penjual. Mereka memperkirakan jumlah keperluan masyarakat, jumlah pengunjung yang datang dan waktu-waktu tertentu. Ketika bulan atau musim maulid, maka harga ikan naik, apalagi hari Sabtu dan Minggu dimana banyak juga para penggembira yang datang berkunjung. Jika jumlah kapal yang mendarat sedikit, maka penjual di dalam gedung hall utama akan menaikkan harga ikan. Ikan-ikan yang ada di hall utama biasanya ikan kecil-kecil dan bahkan juga ikan air tawar juga main-main ke pelabuhan agar mudah laku terjual. Kata seorang teman yang berjualan di hall tersebut, kami sangat menjaga waktu Shubuh dan kami harus benar-benar bisa menghitung peluang dan harga penjualan kami. Jika benar kami bisa untung besar atau jika salah kami malah merugi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar