Selasa, 11 November 2014

Mahasiswa Penjual Koran di Lampu Merah

         Ada seorang mahasiswa, sebut saja namanya Maha (maaf bukan Maho), dia kuliah di sebuah jurusan di fakultas teknik di ibu kota propinsinya. Sebenarnya anaknya pintar, cuma mungkin karena kenakalan yang muncul terlambat, maka kuliahnya keteteran. Lagi pula kondisi keluarganya yang pas-pasan secara ekonomi sehingga sarananya utk belajar terhambat.
          Akhirnya si Maha ini menyambi sebagai seorang pengecer koran di titik titik lampu merah. Berbekal kenalan seorang loper koran, si Maha minta jatah koran untuk dijual. Ketika itu harga koran berbasis propinsi 2.000 rupiah dan si Maha dapat jatah 300 rupiah utk setiap koran yang terjual. Si Maha dipercaya oleh loper koran tersebut karena satu jamaah mesjid dan juga termasuk tetangga.
            Hari-hari pertama jual koran begitu semangat, lumayan, koran bisa terjual 20 s.d 40 eksamplar. Uang jajan dan bensin untuk kuliah aman. Malu bukanlah alasan, tetapi gengsi harus benar-benar dilupakan. Jatah koran yang tidak terjual dikembalikan kepada loper sebagai bukti tidak terjual dan tidak dituntut bayar atau pun target yang harus terjual.
             Suatu waktu ketika Maha sedang menjual koran, seorang adik temannya melihat dan merasa kasihan. Lalu si adik tersebut berkata kepada orang tuanya. "Ayah, kasi uang yang banyak untuk abang Maha, dia pasti butuh uang untuk kuliahnya". Akhirnya kabar itu terdengar oleh Maha dan Maha tertawa terbahak. Ada juga suatu waktu Maha memakai baju baru berjualan koran. Ada seorang gadis SMU berjalan, mulai senyum dari kejauhan, jalannya mulai diperlambat, si Maha berkata "Mau kemana adeekkk....", dibalasnya dengan genit "Pulang baaangggggggg". Hehehe..penjual koran laku juga.
            Tiba saatnya pengumuman CPNS pegawai pemkab dan pemprov, pagi itu Maha sangat bersemangat jualan koran. Pastinya hari trsbt menjadi membludak eksamplar yg terjual. Maha pun menjual dengan harga yg lebih tinggi, yaitu 3.000 per eksamplar. Hampir tidak ada yg protes karena semua pada butuh. Hari itu bagaikan durian runtuh walaupun durian itu buah yang paling tidak enak se-dunia.
            Di ujung karier Maha sebagai penjual koran, Maha pun sempat berjualan koran di simpang kampus. Jadwal masuk yg sering pagi membuat Maha harus lebih cepat ke kampus. Omzet jualan koran berkurang, yang namanya anak perantauan pasti baca koran sambil ngopi. Maha pun berhenti menjual koran. Maha mencoba peruntungan baru sebagai tentor siswa SMU atau sederajat.